BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial
(Zoon Politicon) tidak ada yang bisa
hidup sendiri di dunia ini. Maka diperlukan adanya hubungan antara manusia yang
satu dengan yang lain berupa perikatan, termasuk dalam pencapaian kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan manusia satu dan manusia lainnya berbeda sesuai usia dan
status sosialnya. Dahulu kala, orang melakukan
perikatan dengan yang lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara barter
(penukaran barang dengan barang), lalu berubah menjadi penukaran barang dengan
uang barang dan kemudian berganti menjadi barang dengan uang.
Ternyata perkembangan zaman
sudah merubah peradaban cara hidup manusia memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya
melakukan transaksi (akad) secara langsung, tapi juga bisa dengan kredit, dan
lain-lain bahkan ada perjanjian secara tertulis sebelum diadakan perikatan
pemenuhan kebutuhan tersebut. Akibat kian hari kian banyak
pula kebutuhan yang harus dipenuhi yang tidak diiringi dengan jumlah
pendapatan, maka lahirlah ingkar janji dari suatu kesepakatan yang telah dibuat
yang dinamakan Wanprestasi yang tentunya tidak lain merugikan pihak kreditur,
baik perjanjian itu berupa sepihak (cuma-cuma) maupun timbal-balik (atas
beban).
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa saja yang menjadi sebab
dan akibat dari wanprestasi?
2. Bagaimana penyelesaian perkara
wanprestasi di pengadilan?
3. Seperti apa sanksi dan ganti rugi terhadap
wanprestasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN WANPRESTASI
Perkataan
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda,
yang artinya prestasi buruk. Menurut kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji,
tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Adapun yang dimaksud wanprestasi
adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur
tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian[i] dan
bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara kreditur dengan debitur.
Marhainis
Abdulhay menyatakan bahwa wanprestasi adalah
apabila pihak-pihak yang seharusnya berprestasi tidak memenuhi prestasinya.
Wanprestasi berarti tidak
melakukan apa yang menjadi unsur prestasi, yakni:
·
Berbuat sesuatu;
·
Tidak berbuat sesuatu; dan
·
Menyerahkan sesuatu.
Dalam
restatement of the law of contacts
(Amerika Serikat), Wanprestasi atau breach
of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan;
b. Partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk
dilaksanakan.
Seorang
debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh
kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali
oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka
kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang
akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
B.
WUJUD WANPRESTASI
Jika
debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang merupakan
kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat – atau katakanlah
prestasi yang buruk. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu
para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian. Wanpestasi
dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Wanprestasi seorang
debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:
1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan
dilakukannya;
Contoh: A dan B telah sepakat
untuk jual-beli motor dengan merek vixion dengan harga Rp 23.000.000,00 yang
penyerahannya akan dilaksanakan pada Hari Minggu, Tanggal 25 maret 2015 pukul 10.00. Setelah A
menunggu lama, ternyata si B tidak datang sama sekali tanpa alasan yang jelas.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai
dengan janjinya.
Contoh: (Konteks contoh nomor
1). Si B datang tepat waktu, tapi membawa motor Mio bukan merk Vixion yang telah diperjanjikan sebelumnya.
3. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tapi kedaluwarsa.
Contoh: (Konteks contoh nomor
1). Si B datang pada hari itu membawa motor vixion namun datang pada jam 14.00.
4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Contoh:(Konteks contoh nomor
1). Si B datang tepat pukul 10.00 pada hari itu dan membawa motor vixion namun menyertakan si C sebagai pihak ketiga yang
sudah jelas-jelas dilarang dalam kesepakatan kedua belah pihak sebelumnya.
Untuk
mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian,
kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan
tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam
hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu,
akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak
pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.
Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan
sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal
1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas
waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut
dengan somasi.
C.
SOMASI WANPRESTASI
Somasi adalah pemberitahuan atau
pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur
menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang
ditentukan dalam pemberitahuan itu dengan kata lain somasi
adalah peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari
ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke
stelling).
a.
Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk
penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur
kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit
juru Sita”
b.
Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta
notaris.
c.
Tersimpul dalam
perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah
menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran
terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan
tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut
berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk
dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya
batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian
berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
SEBAB AKIBAT WANPRESTASI
Wanprestasi
terjadi disebabkan oleh sebab-sebab
sebagai berikut:
1) Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri.
Unsur kesengajaan ini, timbul
dari pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka
faktornya adalah:
·
Tidak memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu
tidak dilakukan sama sekali
·
Faktor keadaan yang bersifat general;
·
Tidak disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut
ketika sudah kedaluwarsa;
·
Menyepelekan perjanjian.
2) Adanya keadaan memaksa (overmacht).
Biasanya, overmacht terjadi
karena unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya seperti
kecelakaan dan bencana alam.
Ada
empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
·
Perikatan tetap ada;
·
Debitur harus
membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);
·
Beban resiko beralih
untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi,
kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh
karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;
·
Jika perikatan lahir
dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya
memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
Akibat
wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur,
sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam,
yaitu:
·
Debitur diharuskan
membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata);
·
Pembatalan perjanjian
disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
·
Peralihan risiko
kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUH
Perdata);
·
Pembayaran biaya
perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).
Dalam
hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya
swbagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itiu karena ada unsure
salah padanya, maka seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hokum yang
atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya.
Sebagaimana
yang disebutkan dalam pasal 1236 dan 1243 dalam hal debitur lalai untuk
memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian
kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237
mengatakan, bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi
tanggungan debitur. Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa
perjanjian timbale balik, maka berdasarkan pasal 1266 sekarang kreditur berhak
untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan
tuntutan ganti rugi.
B.
PENYELESAIAN WANPRESTASI DI PENGADILAN
Karena wanprestasi mempunyai
akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si
berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya,
maka harus dibuktikan di muka hakim. Pengajuan ke pengadilan tentang
wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh seorang jurusita
dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga
cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan
mudah dimungkiri oleh si berutang. Kadang-kadang juga tidak mudah
untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak
dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan wanprestasi
yang dijanjikan. Di pengadilan, kreditur harus
sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya
(debitur) tersebut telah melakukan wanprestasi, bukan overmacht. Begitu
pula dengan debitur, debitur harus meyakinkan hakim jika kesalahan bukan
terletak padanya dengan pembelaan seperti berikut:
ü
Overmacht;
ü
Menyatakan bahwa
kreditur telah melepaskan haknya; dan
ü
Kelalaian kreditur.
Jika debitur tidak terbukti
melakukan wanprestasi, maka kreditur tidak bisa menuntut apa-apa dari debitur
tersebut.
Tetapi jika yang diucapkan
kreditur di muka pengadilan terbukti, maka kreditur dapat menuntut:
a) Menuntut hak pemenuhan
perjanjian;
b) Menuntut hak pemenuhan
perjanjian berikut dengan ganti rugi sesuai Pasal
1246 KUHPerdata yang menyatakan, “biaya, ganti
rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan
pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi
harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti
kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut
dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
Ø
Ganti biaya yaitu mengganti pengeluranan yang
dikeluarkan kreditur;
Ø
Ganti rugi yaitu mengganti barang-barang rusak; dan
Ø
Ganti bunga yaitu mengganti keuntungan yang seharusnya
didapat.
Ø
Pembatalan perjanjian
Dalam hal pembatalan
perjanjian, banyak pendapat yang mengemukakan bahwa pembatalan ini dilakukan
oleh hakim dengan mengeluarkan putusan yang bersifat declaratoir. Hakim juga mempunyai suatu kekuasaan yang bernama “discretionair”, artinya ia berwenang
untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu
kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian meski ganti rugi
yang diminta harus dituluskan.
Ø
Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi;
Ø
Meminta/ menuntut ganti rugi saja.
Dan hak-hak yang dituntut oleh
kreditur dicantumkan pada bagian petitum dalam surat gugatan. Jika debitur tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak
melakukan wanprestasi tersebut, maka biaya perkara seluruhnya dibayar oleh
debitur.
C.
SANKSI DAN GANTI RUGI TERHADAP WANPRESTASI
Debitur yang
wanprestasi kepadanya dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian
yang dialami kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar
biaya perkara bila sampai diperkarakan secara hukum di pengadilan. Kewajiban
membayar ganti rugi (schade
vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru
efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak
melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur
dalam Pasal 1243 KUH Perdata.
Yang
dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya
biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang
sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa
kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya
siberhutang tidak lalai (winstderving).[iii][15]
Bahwa
kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan
akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara
wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua
sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan
bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan
peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A;
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan
bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila
peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan
akibat (peristiwa B).
Dari
kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking
karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat
dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang
paling mendekati keadilan. Selanjutnya pasal-pasal 1243-1252 mengatur lebih
lanjut mengenai ganti rugi. Prinsip dasarnya adalah bahwa wanprestasi
mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti meliputi ongkos, kerugian dan
bunga. Dalam peristiwa-peristiwa tertentu disamping tuntutan ganti rugi ada
kemungkinan tuntutan pembatalan perjanjian, pelaksanaan hak retensi dan hak
reklame. Karena tuntutan ganti rugi dalam peristiwa-peristiwa seperti tersebut
di atas diakui, bahkan diatur oleh undang-undang, maka untuk pelaksanaan
tuntutan itu, kreditur dapat minta bantuan untuk pelaksanaan menurut cara-cara
yang ditentukan dalam Hukum acara perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang
tersedia dan diatur disana, atas harta benda milik debitur. Prinsip bahwa
debitur bertanggung jawab atas kewajiban perikatannya dengan seluruh harta
bendanmya telah diletakkan dalam pasal 1131 KUH Perdata.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Simpulan dari makalah ini
adalah sebagai berikut:
Sebab dan
Akibat Wanprestasi;
·
Kesengajaan atau
kelalaian debitur itu sendiri.
Unsur kesengajaan ini, timbul
dari pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya
adalah:
Ø
Tidak memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu
tidak dilakukan sama sekali;
Ø
Faktor keadaan yang bersifat general;
Ø
Tidak disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut
ketika sudah kedaluwarsa;
Ø
Menyepelekan perjanjian.
·
Adanya keadaan memaksa
(overmacht).
Biasanya, overmacht terjadi
karena unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya seperti
kecelakaan dan bencana alam.
Ada
empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
Ø
Perikatan tetap ada;
Ø
Debitur harus
membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);
Ø
Beban resiko beralih
untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi,
kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh
karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;
Ø
Jika perikatan lahir
dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya
memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
B.
SARAN
Diharapkan kepada semua pihak
yang telah melakukan perjanjian untuk tidak melakukan wanprestasi yang telah
nyata menimbulkan kerugian pada kreditur umumnya dan hakim diharapkan mampu
untuk bersikap bijak dalam mencari keadilan pada perkara wanprestasi
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulhay, Marhainis, . 2004 .Hukum Perdata Materil. Jakarta : Pradnya Paramita
Pramono,
Nindyo, 2003 . Hukum Komersil . Jakarta: Pusat Penerbitan UT
Subekti, 1991 . Hukum Perjanjian . Jakarta: PT. Intermasa
Subekti, 2005 . Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita
Subekti, 2002. Pokok-Pokok Hukum
Perdata. Jakarta: PT. Intermasa
Sudarsono,
2007. Kamus
Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar