BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dilihat dari latar belakang historisnya,
konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham sebenarnya lahir dari
pemberontakan kaum perempuan di negara-negara barat akibat penindasan yang
dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, Abad
Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada “abad pencerahan”
sekali pun, barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat,
dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Indonesia pun memiliki
sejarah panjang dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Sejak era Kartini, kaum
perempuan di Indonesia mulai menyadari arti pentingnya kesetaraan gender dalam memperoleh
hak-hak publik seperti yang diperoleh kaum lelaki. Pada
dasarnya, jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di
bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk
yakni dalam pasal 27 ayat 1. Namun pada kenyataannya,
masih banyak program-program pembangunan yang
biayanya dari anggaran keuangan pemerintah Indonesia sendiri atau dari dana
bantuan maupun pinjaman luar negeri, yang hasil maupun dampak positifnya lebih
memihak laki-laki, ketimbang perempuan. Selain itu, alokasi dana dan
sumber-sumber untuk sektor-sektor yang akrab dengan perempuan dan menyentuh
pada kehidupan privat di pelosok-pelosok Indonesia sangatlah minim.
Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir belum
mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk
pembangunan politik yang berwawasan gender. Bahkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia memperlihatkan
representasi yang rendah dalam semua tingkat pengambilan keputusan, baik di
tingkat eksekutif, yudikatif, maupun birokrasi, partai politik, bahkan
kehidupan politik lainnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana permasalahan
kesetaraan gender di Indonesia?
2.
Bagaimana arti
pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
3.
Bagaimana upaya
memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Permasalahan
Kesetaraan Gender di Indonesia
Permasalahan Gender lebih ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi
yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Dalam realitas kehidupan telah terjadi
perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan yang melahirkan perbedaan status
sosia l di masyarakat, dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan
melalui konstruksi sosial. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan
ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, yang kemudian
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau kultural,
dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos. Perbedaan jenis kelamin
sering dipergunakan masyarakat untuk membentuk pembagian peran (kerja)
laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilah
pembagian peran gender yaitu peran domestik dan peran publik. Peran domestik
cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan, dan pengaruh. Peran ini lebih
banyak diserahkan kepada kaum perempuan, sedangkan peran publik yang
menghasilkan uang, kekuasaan dan pengaruh diserahkan kepada kaum laki-laki. Akibat
pembagian kerja yang tidak seimbang melahirkan ketimpangan peran laki-laki dan
perempuan yang berakibat ketidakadilan gender yang merugikan perempuan. Di
Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek antara lain dalam
lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan dalam
pemerintahan. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak
seimbang ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan kultural masyarakat
Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan suku. Setiap masyarakat suku di
Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri dalam memaknai peran gender di
Indonesia. Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang
tidak ada habisnya dan masih terus
diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Permasalahan tentang
kesetaraan gender ini mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan
perspektif gender itu sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus
dibarengi dengan adanya keterwakilan perempuan-perempuan dalam lembaga-lembaga
negara, terutama lembaga pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja
mengalami ketimpangan di bidang pendidikan,
sosial, politik, dan ekonomi hanya karena perkembangan pengetahuan masyarakat
Indonesia tentang gender itu sendiri masih sangat lambat. Meskipun perempuan
ditempatkan pada peran domestik di lingkungan keluarga, namun posisi perempuan
Indonesia di lingkungan keluarga selalu dinomor-duakan. Karena berperan sebagai
pencari nafkah, posisi kepala rumah tangga pada umumnya akan diserahkan kepada
laki-laki/suami, kecuali jika perempuan tersebut adalah seorang janda atau
tidak ada laki-laki dalam suatu keluarga.
Selama ini, pemahaman masyarakat Indonesia merekonstruksi bahwa secara
kodrat, perempuan lemah dan laki-laki kuat, sehingga untuk menjadi pemimpin
dalam sebuah keluarga tetap diserahkan kepada laki-laki. Hal ini menunjukkan
dominasi laki-laki pada peran domestik. Keadaan tersebut menyebabkan posisi
perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas,
seperti memasak, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Pekerjaan
domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi. Penempatan
perempuan pada tugas domestik sepenuhnya mengakibatkan potensi perempuan untuk
melakukan hal produktif menjadi berkurang. Memang, sejak awal berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah secara resmi telah menganut dan
menetapkan kesepakatan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki
sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27. Namun demikian, dalam perkembangannya,
beberapa UU yang selama ini berlaku di Indonesia, disadari mempunyai arti yang
masih diskriminatif terhadap perempuan. Seperti dalam UU mengenai sistem
pengupahan tenaga kerja perempuan, tunjangan keluarga dan tunjangan
kesehatan-perempuan dianggap lajang sehingga suami dan anak-anak tidak
mendapatkan tunjangan sebagaimana yang diterima pekerja laki-laki. Ketentuan
ini termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 Tahun 1990 tentang
Upah, PP No. 37 Tahun 1967 tentang Sistem Pengupahan di lingkungan perusahaan
negara, Peraturan Menteri Pertambangan No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri
Pertanian No.K440/01/2/1984 dan No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988
tentang tunjangan kesehatan, serta pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan
Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8 UU No. 10/1994 tentang
prosedur memperoleh NPWP. Selain itu, berdasarkan data Komnas perempuan tahun
2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias
gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir
kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender
dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi
dan menerima manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.
B.
Kesetaraan
Gender di Dunia Perpolitikan Indonesia
Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk
merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan
keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia masih
sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana
yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Gender
menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan perkembangan akses
perpolitikan bagi perempuan. Melalui akses perpolitikan, maka kesadaran untuk
membincang relasi gender di dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin
mengedepan. Kesetaraan gender sebagaimana yang diketahui adalah produk impor
dari negeri barat tentang adanya tuntutan
untuk keseimbangan peran di dalam relasi gender tersebut. Pembicaraan
gender di Indonesia banyak dilakukan di tahun 1980-an. Melalui program dari Non Governmental Organization (NGO)
lokal yang bekerja sama dengan NGO internasional, maka banyak penyadaran
tentang relasi gender yang dilakukan di Indonesia. Banyak perbincangan dan
pelatihan dengan tujuan untuk menyadarkan tentang relasi gender. Jadi, yang
dilakukan adalah melakukan pelatihan tentang urgensi gender mainstreaming pada
masyarakat negara sedang berkembang. Di dunia internasional, banyak NGO yang
bergerak di dunia ketiga, misalnya NGO dari Belanda, Jerman, Inggris, dan juga
Australia. Banyak program yang diusung, misalnya tentang kesetaraan pendidikan,
sosial, dan politik yang disinergikan
dengan NGO lokal Indonesia yang juga
bergerak di bidang ini. Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus
utama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Di dunia politik,
memang dominasi lelaki masih nampak. Misalnya jika kita secara kuantitatif
berhitung, berapa banyak perempuan yang memasuki kawasan pimpinan di
perpolitikan Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan ini yang memang masih menjadi
ganjalan di dalam kerangka untuk kesetaraan gender. Namun demikian, di akhir-akhir
ini, akses perempuan di dalam politik memang sudah mulai tampak dengan semakin
banyaknya keterlibatan perempuan di dalam politik praktis. Sekarang semakin
banyak perempuan di dunia legislatif, birokrasi, dan juga jabatan-jabatan
politik lain. Ada beberapa bupati perempuan yang terdapat di Indonesia,
demikian pula gubernur. Bahkan ada bupati perempuan yang bisa menjabat dua kali
periode, demikian pula gubernur. Tidak terhitung yang berlama-lama di parpol
dan kemudian berlanjut di lembaga legislatif. Semakin terbuka akses keterbukaan
politik, maka tentu akan semakin banyak perempuan yang akan bisa berkompetisi
dengan kaum lelaki di dalam pentas publik. Oleh karena itulah pemberian kuota
kepada perempuan di dalam representasi politik tentulah tidak penting. Meskipun
begitu, saat ini hak-hak politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun
adanya hak-hak tersebut tidak menjamin adanya sistem politik yang demokratis di
mana asas partisipasi, representasi, dan akuntabilitas diberi makna
sesungguhnya. Adanya keterwakilan perempuan di dalamnya, dan berbagai kebijakan
yang muncul yang memiliki sensitivitas gender tidak serta merta terwujud
meskipun hak politik perempuan sudah diakui. Perempuan sebagai warga negara
seharusnya dapat berpartisipasi secara mandiri dalam proses demokrasi ini.
Selama ini di Indonesia, kita mendapati bahwa sebagian besar perempuan bahkan
belum dapat membuat pilihan politiknya secara mandiri. Pilihan politik
perempuan banyak dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh suami, atasan, teman, atau
keluarga. Bukti-bukti empiris sudah menunjukkan bahwa kesetaraan gender sudah
bukan masalah di negeri ini. Hanya saja yang memang perlu diperjuangkan adalah
bagaimana agar perempuan semakin berdaya di dalam pengembangan SDM terutama
melalui pendidikan, sehingga ke depan peluang untuk memasuki dunia politik akan
semakin nyata.
C.
Pentingnya
Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pendidikan
politik adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan
orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses
pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi Warga
Negara Indonesia yang sadar dan
menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan
antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran,
utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan
dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan
kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud
kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang
politik. Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan
pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang
sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik
perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan
pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif
yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini
perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu
ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga
dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka
diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi
yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan
srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan, khususnya di
semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol,
serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres
Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh karena
itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan mengikat
seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, dan partai
politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia
(HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan
dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan pemerhati masalah perempuan,
melakukan upaya yang sangat keras memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30%
keterwakilan perempuan sebagai jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu
ke hilir. Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, mengatakan bahwa efektivitas UU
parpol dan UU pemilu terkait keterwakilan perempuan bisa dilihat dari hasil
pemilu 2009 dimana keterwakilan perempuan sudah meningkat dibandingkan pemilu
2004. Jumlah ini masih jauh ketimbang dari hasil keseimbangan ideal minimal
30%. Oleh karenanya, harus dilakukan pengawalan sejak tataran perumusan
kebijakan, proses dan implementasinya, serta evaluasi dampaknya guna perbaikan
kedepan pada pemilu 2014, sampai kesetaraan dan keadilan partisipasi perempuan
dalam politik yang terjadi, tidak dibutuhkan lagi. Sementara itu, perempuan
yang dilibatkan di dunia politik seharusnya dapat mengetahui manfaat yang baik untuk
dirinya maupun di partai politik, namun pada faktanya, perempuan kini cenderung
mudah dipengaruhi untuk menerima money politics. Hal tersebut diakibatkan
kurangnya pendidikan dasar dalam berpolitik yang belum dapat dipahami secara
penuh ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan
partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan
akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih
bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang
terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah
ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat
efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi
publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat
yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan
pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan
perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan
gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua persoalan tersebut adalah
budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak perempuan di semua bidang,
termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat dengan politik. Konsep
demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan oleh rakyat.
Di dalamnya terkandung makna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian
partisipasi “ dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat” hanya diartikan
secara terbatas hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan
tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya. Keterwakilan perempuan adalah
untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan
oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa
kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan
sendiri karena mereka sesungguhnya paling mengerti kebutuhan perempuan. Dalam
kerangka demokrasi yang representative,
pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam
memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat. Mempertimbangkan
kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses
pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah
kesetaraan dan keadilan gender.
D.
Upaya
Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pada dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan
dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan oleh
Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No.
2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh dengan
kenyataannya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan statistik
berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan
yang lain menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi
perekrutan kaum perempuan dalam langkah politiknya. Karena selama ini perempuan
hanya berjumlah 12 % saja yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan.
Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia,
meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak
harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para perempuan dalam partisipasinya
untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut
sekaligus sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan
yang selama terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini, publik
akan memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta
pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi
perempuan, bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat
(LSM) atau organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak
memilih gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau
dengan tidak merealisasikan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan.
Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam panggung
politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan peran
perempuan dalam lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil
dan penentu kebijakan masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
perempuan masih belum diperhitungkan. Dengan adanya dorongan untuk keterwakilan
perempuan yang 30% di parlemen saat pemilu 2009 tersebut, seperti diamanatkan
UU No. 10 tahun 2008, walaupun belum ada affirmative
action yang memberikan previlage
tertentu, sehingga memberikan syarat yang lebih mudah bagi caleg perempuan dari
pada caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut sudah menunjukkan
keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari
sebelumnya yang hanya 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari
pada keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%. Berdasarkan data
tersebut di atas, kurang adanya
pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan dalam proses politik, telah
terbuktikan dengan kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam
perencanaan pembangunan, meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu gender mainstreaming tentang perempuan
sebagai bagian dan sasaran dalam pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan
pendekatan “Women In Development Approach
(WID)”. Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum
diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen pembangunan baik secara teoritis maupun
aplikatif. Sehingga hasil–hasil pembangunan masih berpihak pada
kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias gender. Adapun upaya–upaya untuk
mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis
perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”. Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan
dan laki–laki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang laki–laki dan
perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses
kehidupan terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik.
Partisipasi antara laki–laki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan
salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan, sampai diamanatkan dalam
konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang
kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang ditetapkan pada tahun
1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui
Undang–Undang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984
melalui lembar negara no. 29 tahun 1984. Meskipun demikian, sampai saat ini
perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal karena adanya
diskriminasi secara struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam kehidupan
masyarakat. Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya
perempuan terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk
merubah dan melakukan pembenahan-pembenahan sejak dini. Untuk itu, adapun upaya
untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yakni pertama,
harus diusahakan adanya peraturan atau UU tentang pemilu, pilkada, dan partai
politik yang mencantumkan perihal affirmative
action terhadap keterwakilan perempuan dengan memberikan previlage tertentu kepada keterwakilan
perempuan, sehingga dengan adanya affirmative
action, diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai
harapan. Kedua, diperlukan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi
perempuan secara terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf pendidikan
bagi kaum perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi dan daya saing kaum
perempuan di bidang politik. Ketiga, diperlukan adanya pencerahan dan
pendidikan politik yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan
oleh lembaga swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembaga–lembaga lain,
tentang unggulnya pemimpin politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan akan
memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriarki bagi masyarakat,
sehingga kemungkinan terpilihnya peminpim politik perempuan akan sama dengan
kemungkinan terpilihnya pemimpim politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender
dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan
usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Di
Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada
habisnya dan masih berusaha terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif
maupun legislatif. Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup
substantif pemahaman tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri. Oleh
karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia. Dalam proses demokratisasi, persoalan
partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan
akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih
bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang
terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah
ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat
efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi
publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat
yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan
pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan
berbagai upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik,
yang nantinya diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya
patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik
perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya peminpin politik laki-laki.
Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek
sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
B.
Saran
Dalam
upaya kesetaraan gender di Indonesia, khususnya dalam dunia politik, perlu
adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua pihak
yang menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan
dan pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan
politik bagi perempuan.
Daftar
Pustaka
Dewi, Sinta
R. 2006. “Gender Mainstreaming : Feminisme, Gender dan Transformasi Institusi, ”Jurnal
Perempuan” No. 50, November,
Fakih,
Mansour, 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta,
PustakaPelajar
Offset,
Haspels,
Nelien dan Busakorn Suriyasarn, Meningkatkan Kesetaraan Gender dalam Aksi
Penanggulangan
Pekerja Anak serta Perdagangan Perempuan dan Anak, Jakarta,
Kantor
Perburuhan
Internasional,
Nurhaeni,
Ismi Dwi Astuti, 2009. Kebijakan Publik Pro Gender, Surakarta, UPT
Penerbitan
dan
Percetakan UNS (UNS Press),
Pulu, Lily,
2006. dkk, Modul Pendidikan Adil Gender Untuk Perempuan Marginal,
Jakarta :
Kapal
Perempuan
Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, 2005. Modul Penyadaran
Gender
Bagi
Pendidik, Semarang,
Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, ,2005. BKKBN dan UNFPA, Panduan dan Bunga
Rampai
Pengarusutamaan Gender, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar