selamat datang di blogg Riyowansyah 24-03-2015 mengejar impian: makalah wanprestasi dan akibatnya di dalam hukum perdata

Jumat, 20 Maret 2015

makalah wanprestasi dan akibatnya di dalam hukum perdata



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
   Manusia adalah makhluk sosial (Zoon Politicon) tidak ada yang bisa hidup sendiri di dunia ini. Maka diperlukan adanya hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain berupa perikatan, termasuk dalam pencapaian kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia satu dan manusia lainnya berbeda sesuai usia dan status sosialnya. Dahulu kala, orang melakukan perikatan dengan yang lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara barter (penukaran barang dengan barang), lalu berubah menjadi penukaran barang dengan uang barang dan kemudian berganti menjadi barang dengan uang.
Ternyata perkembangan zaman sudah merubah peradaban cara hidup manusia memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya melakukan transaksi (akad) secara langsung, tapi juga bisa dengan kredit, dan lain-lain bahkan ada perjanjian secara tertulis sebelum diadakan perikatan pemenuhan kebutuhan tersebut. Akibat kian hari kian banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi yang tidak diiringi dengan jumlah pendapatan, maka lahirlah ingkar janji dari suatu kesepakatan yang telah dibuat yang dinamakan Wanprestasi yang tentunya tidak lain merugikan pihak kreditur, baik perjanjian itu berupa sepihak (cuma-cuma) maupun timbal-balik (atas beban).

B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja yang menjadi sebab dan akibat dari wanprestasi?
2.      Bagaimana penyelesaian perkara wanprestasi di pengadilan?
3.       Seperti apa sanksi dan ganti rugi terhadap wanprestasi



BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN WANPRESTASI
   Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Menurut kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian[i] dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Marhainis Abdulhay menyatakan bahwa wanprestasi adalah apabila pihak-pihak yang seharusnya berprestasi tidak memenuhi prestasinya.
Wanprestasi berarti tidak melakukan apa yang menjadi unsur prestasi, yakni:
                     ·            Berbuat sesuatu;
                     ·            Tidak berbuat sesuatu; dan
                     ·            Menyerahkan sesuatu.
Dalam restatement of the law of contacts (Amerika Serikat), Wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.       Total breachts artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan;
b.      Partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.
Seorang debitur baru  dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.



B.     WUJUD WANPRESTASI
         Jika debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang merupakan kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat – atau katakanlah prestasi yang buruk. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian. Wanpestasi dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Wanprestasi seorang debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:
1.      Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
Contoh: A dan B telah sepakat untuk jual-beli motor dengan merek vixion dengan harga Rp 23.000.000,00 yang penyerahannya akan dilaksanakan pada Hari Minggu, Tanggal 25 maret 2015 pukul 10.00. Setelah A menunggu lama, ternyata si B tidak datang sama sekali tanpa alasan yang jelas.
2.      Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan janjinya.
Contoh: (Konteks contoh nomor 1). Si B datang tepat waktu, tapi membawa motor Mio bukan merk Vixion yang telah diperjanjikan sebelumnya.
3.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya tapi kedaluwarsa.
Contoh: (Konteks contoh nomor 1). Si B datang pada hari itu membawa motor vixion namun datang pada jam 14.00.
4.      Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Contoh:(Konteks contoh nomor 1). Si B datang tepat pukul 10.00 pada hari itu dan membawa motor vixion namun menyertakan si C sebagai pihak ketiga yang sudah jelas-jelas dilarang dalam kesepakatan kedua belah pihak sebelumnya.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
C.    SOMASI WANPRESTASI
  Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dengan kata lain somasi adalah peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya.
 Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).

Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:[ii][8]
a.       Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
b.      Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
c.       Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.


BAB III
PEMBAHASAN

A.    SEBAB AKIBAT WANPRESTASI
Wanprestasi terjadi disebabkan oleh sebab-sebab sebagai berikut:
1)      Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri.
Unsur kesengajaan ini, timbul dari pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya adalah:
                         ·            Tidak memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali
                         ·            Faktor keadaan yang bersifat general;
                         ·            Tidak disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut ketika sudah kedaluwarsa;
                         ·            Menyepelekan perjanjian.
2)      Adanya keadaan memaksa (overmacht).
Biasanya, overmacht terjadi karena unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya seperti kecelakaan dan bencana alam.
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
                     ·            Perikatan tetap ada;
                     ·            Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);
                     ·            Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;
                     ·            Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam, yaitu:
         ·            Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata);
         ·            Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
         ·            Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata);
         ·            Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya swbagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itiu karena ada unsure salah padanya, maka seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hokum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1236 dan 1243 dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237 mengatakan, bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur. Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbale balik, maka berdasarkan pasal 1266 sekarang kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.

B.     PENYELESAIAN WANPRESTASI DI PENGADILAN
    Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Pengajuan ke pengadilan tentang wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh seorang jurusita dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berutang. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan wanprestasi yang dijanjikan. Di pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya  (debitur) tersebut telah melakukan wanprestasi, bukan overmacht. Begitu pula dengan debitur, debitur harus meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan seperti berikut:
ü  Overmacht;
ü  Menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknya; dan
ü  Kelalaian kreditur.
Jika debitur tidak terbukti melakukan wanprestasi, maka kreditur tidak bisa menuntut apa-apa dari debitur tersebut.
Tetapi jika yang diucapkan kreditur di muka pengadilan terbukti, maka kreditur dapat menuntut:
a)      Menuntut hak pemenuhan perjanjian;
b)      Menuntut hak pemenuhan perjanjian berikut dengan ganti rugi sesuai Pasal 1246 KUHPerdata yang menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
Ø  Ganti biaya yaitu mengganti pengeluranan yang dikeluarkan kreditur;
Ø  Ganti rugi yaitu mengganti barang-barang rusak; dan
Ø  Ganti bunga yaitu mengganti keuntungan yang seharusnya didapat.
Ø  Pembatalan perjanjian
Dalam hal pembatalan perjanjian, banyak pendapat yang mengemukakan bahwa pembatalan ini dilakukan oleh hakim dengan mengeluarkan putusan yang bersifat declaratoir. Hakim juga mempunyai suatu kekuasaan yang bernama “discretionair”, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian meski ganti rugi yang diminta harus dituluskan.
Ø  Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi;
Ø  Meminta/ menuntut ganti rugi saja.
Dan hak-hak yang dituntut oleh kreditur dicantumkan pada bagian petitum dalam surat gugatan. Jika debitur tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak melakukan wanprestasi tersebut, maka biaya perkara seluruhnya dibayar oleh debitur.

C.    SANKSI DAN GANTI RUGI TERHADAP WANPRESTASI
   Debitur yang wanprestasi kepadanya dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian yang dialami kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara bila sampai diperkarakan secara hukum di pengadilan.  Kewajiban  membayar  ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya.  Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata.
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).[iii][15]
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
a)      Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A;
b)      Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan. Selanjutnya pasal-pasal 1243-1252 mengatur lebih lanjut mengenai ganti rugi. Prinsip dasarnya adalah bahwa wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti meliputi ongkos, kerugian dan bunga. Dalam peristiwa-peristiwa tertentu disamping tuntutan ganti rugi ada kemungkinan tuntutan pembatalan perjanjian, pelaksanaan hak retensi dan hak reklame. Karena tuntutan ganti rugi dalam peristiwa-peristiwa seperti tersebut di atas diakui, bahkan diatur oleh undang-undang, maka untuk pelaksanaan tuntutan itu, kreditur dapat minta bantuan untuk pelaksanaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam Hukum acara perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang tersedia dan diatur disana, atas harta benda milik debitur. Prinsip bahwa debitur bertanggung jawab atas kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanmya telah diletakkan dalam pasal 1131 KUH Perdata.




BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Simpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
Sebab dan Akibat Wanprestasi;
         ·            Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri.
Unsur kesengajaan ini, timbul dari pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya adalah:
Ø  Tidak memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali;
Ø  Faktor keadaan yang bersifat general;
Ø  Tidak disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut ketika sudah kedaluwarsa;
Ø  Menyepelekan perjanjian.
         ·            Adanya keadaan memaksa (overmacht).
Biasanya, overmacht terjadi karena unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya seperti kecelakaan dan bencana alam.
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
Ø  Perikatan tetap ada;
Ø  Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);
Ø  Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;
Ø  Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
B.     SARAN
   Diharapkan kepada semua pihak yang telah melakukan perjanjian untuk tidak melakukan wanprestasi yang telah nyata menimbulkan kerugian pada kreditur umumnya dan hakim diharapkan mampu untuk bersikap bijak dalam mencari keadilan pada perkara wanprestasi


DAFTAR PUSTAKA

Abdulhay, Marhainis, . 2004 .Hukum Perdata Materil. Jakarta : Pradnya Paramita
Pramono, Nindyo, 2003 . Hukum Komersil . Jakarta: Pusat Penerbitan UT
Subekti, 1991 . Hukum Perjanjian . Jakarta: PT. Intermasa
Subekti, 2005 . Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita
Subekti, 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa
Sudarsono, 2007.  Kamus Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta









Tidak ada komentar:

Posting Komentar