selamat datang di blogg Riyowansyah 24-03-2015 mengejar impian: Mei 2015

Jumat, 15 Mei 2015

makalah tata guna tanah hukum agraria





BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
        Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang jumlahnya terbatas dan disediakan untuk manusia serta mahluk ciptaan Tuhan lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan. Selain itu tanah sebagai ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagi bangsa Indonesia pembangunan tidak dapat dilepaskan dari tanah. Tanah merupakan bagian penting dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan social dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang memiliki nilai setrategis karena arti kusus dari tanah sebagai factor produksi utama perekonomian bangsa dan Negara. Tanah mempunyai fungsi social dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ditegaskan dalam GBHN pada pola umum pelita VI. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan tanah dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan  kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Tata Guna Tanah
2.      Kebijaksanaan Penata Gunaan Tanah
3.      Penyelengaraan Penata Gunaan Tanah
4.      Landasan Hukum Tata Guna Tanah



BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN TATA GUNA TANAH
Tata Guna Tanah "Tanah" dipakai dalam berbagai arti, maka dalam pengunaannya perlu mengetahui batasan dari pada tanah, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. "Tanah", dalam arti yuridis, menurut undang-undang pokok agraria (UUPA) pasal 4 disebutkan, bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanaya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang . Dengan demikian jelaslah, bahwa "tanah" dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (ayat 1). Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah yang diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam (ayat2) dinyatakan, bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut "tanah", tapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya. Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksud itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya. Penggunaan tanah ini ada batasnya menurut pasal 4 ayat (2) sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedangkan berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembangunan pabrik kertas PTHU, Porsea SUMUT. Menggunakan sebagian dari permukaan bumi berupa tanah untuk pembangunan pabrik. Namun dalam penggunaan tanah ini harus memperhatikan pasal 6 UULH. Untuk itu seharusnya penggunaan pabrik kertas PTHU tersebut harus memperhatikan ketentuan UU no. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, agar tidak terjadi kerusakan/pencemaran lingkungan seperti yang dialami oleh PTHU tersebut, karena segalanya sudah ada rencana yang matang dengan segala akibatnya yang bisa diatasi bila timbul masalah. Misalnya pembuatan penampungan limbah industri harus sedemikian rupa agar tidak sampai jebol, bila sampai jebol akibatnya akan membahayakan lingkungan sekitar, karena tersemar. Semuanya harus sudah direncanakan dan diperhitungkan dengan benar. Termasuk penebangan hutan pinus, seharusnya tahu, akibat dari penebangan tersebut, umumnya semua sudah terlanjur sebagai akibat kurang memperhatikan peraturan-peraturan yang ada.
           ·          Penatagunaan Tanah
Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan system untuk kepentingan masyarakat secara adil. Penatagunaan tanah ini meliputi kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan tanah. Kebijakan penatagunaan tanah di kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagai pedoman umum penggunaan tanah di daerah. Penatagunaan tanah merupakan kebijakan dan kegiatan dibidang pertanahan yang bertujuan mengatur dan mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW) dan mewujudkan tertib pertanahan dengan tetap menjamin kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat.
           ·          Asas dan Tujuan Penatagunaan Tanah
1.      Asas penatagunaan tanah
Asas penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 meliputi :
ü  Keterpaduan adalah bahwa penatagunaan tanah dilakukan untuk mengharmonisasikan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan.
ü  Berdayaguna dan berhasilguna adalah bahwa penatagunaan tanah harus dapat mewujudkan peningkatan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi ruang.
ü  Serasi, selaras dan seimbang adalah bahwa penggunaan tanah menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pemegang hak atas tanah atau kuasanya sehingga meminimalkan benturan kepentingan antar penggunaan atau pemanfaatan tanah.
ü  Berkelanjutan, adalah bahwa penggunaan tanah menjamin kelestarian fungsi tanah demi memperhatikan kepentingan antar generasi.
ü  Keterbukaan, adalah bahwa penatagunaan tanah dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
ü  Persamaan, keadilan dan perlindungan hukum adalah bahwa dalam penyelenggaraan penatagunaan tanah tidak mengakibatkan diskriminasi antar pemilik tanah sehingga ada perlindungan hukum dalam menggunakan dan memanfaatan tanah.

2.      Tujuan penatagunaan tanah
Tujuan penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 adalah :
ü  Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah.
ü  Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan kegiatan dibidang pertanahan  dikawasan lindung dan kawasan budidaya. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.











B.     KEBIJAKSANAAN PENATAGUNAAN TANAH
    Sebagai akibat dari pelaksanaan kebijakan penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 PP No. 16 Tahun 2004 penyelesaian administrasi antara lain pemberian hak, perpanjangan hak, pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan hak, pemisahan hak, pemecahan hak, pembebanan hak, izin lokasi atau surat izin penunjukkan dan penggunaan tanah dan penetapan lokasi, dalam rangka pelayanan pertanahan dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang berlaku dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a.       Penggunaan dan pemanfaatan tanahnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Pengertian sesuai adalah bahwa wujud penggunaan dan pemanfaatan tanah tidak bertentangan dengan fungsi kawasan dalam RTRW yang bersangkutan.
b.      Memenuhi syarat-syarat menggunakan dan pemanfaatan tanah, serta memelihara tanah dan lingkungan sebagaimana tercantum pada Pasal 13 Peraturan Pemerintah Penatagunaan Tanah berikut penjelasannya.
c.       Tidak mengubah penggunaan dan pemanfaatan tanah sehingga menjadi tidak sesuai dengan fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam tata ruang.
d.      Hak Atas Tanah tidak dapat diberikan terhadap bidang-bidang tanah  apabila:
                         ·            Tanahnya terletak dikawasan Lindung yang termasuk Kawasan Hutan.
                         ·            Tanahnya terletak pada lokasi situs.
e.  Penyelesaian administrasi pertanahan diatas dan atau dibawah tanah yang tidak terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah diatas dan atau dibawahnya harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.
f.  Syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah sebagaimana tersebut pada butir 1 s.d. 5 merupakan satu kesatuan proses penyelesaian administrasi pertanahan (Pasal 10 Peraturan Pemerintah tentang Penatagunaan tanah).
Pedoman dan kriteria pelaksanaan penatagunaan tanah meliputi penyusunan indikator pelaksanaan penatagunaan tanah yang melalui penataan kembali, kemitraan dan pelepasan hak. Untuk melengkapi atau mendukung pemilihan indikator yang dimaksud setiap pelaksana harus melengkapi data pendukung seperti demografi kependudukan (jumlah penduduk, jumlah KK, mata pencaharian dll), sifat fisik medan (kemampuan tanahnya), struktur penguasaan tanahnya, analisa investasi pembangunan, ketersediaan infrastruktur publik dan lain-lain.

C.    PENYELENGGARAAN PENATAGUNAAN TANAH
Penyelenggaraan Penatagunaan Tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 meliputi kegiatan :
1)      Pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
2)      Penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan.
3)      Penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah .
Kegiatan tersebut diatas disajikan dalam peta dengan skala lebih besar daripada skala Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.
Ad.1. Pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaan tanah meliputi :
·         Pengumpulan dan pengolahan data penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kemampuan tanah, evaluasi tanah serta data pendukung.
·         Penyajian data berupa peta dan informasi penguasaan penggunaan dan pemanfaatan tanah, kemampuan tanah, evaluasi tanah serta data pendukung.
·         Penyediaan dan pelayanan data berupa peta dan informasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kemampuan tanah, evaluasi tanah, serta data pendukung.
Ad.2. Kegiatan penetapan perimbangan antara kesediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan, meliputi :
Ø  Penyajian neraca perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada Rencana Tata Ruang Wilayah.
Ø  Penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah pada Rencana Tata Ruang Wilayah.
Ø  Penyajian dan penetapan prioritas kesediaan tanah pada Rencana Tata Ruang Wilayah.
Ad.3. Pelaksanaan pola penyesuaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dilakukan, meliputi :
ü  Penataan kembali
ü  Upaya kemitraan
ü   Penyerahan dan pelepasan hak atas tanah kepada Negara atau pihak lain dengan penggantian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka pelaksanaan penyesuaian, penguasaan dan pemanfaatan tanah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan :
1)      Kebijakan penatagunaan tanah
2)      Hak-hak masyarakat pemilik tanah
3)      Inventarisasi pembangunan prasarana dan sarana
4)      Evaluasi tanah

D.    LANDASAN HUKUM TATA GUNA TANAH
1.      Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut:Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Bahwa hubungan antara negara dengan BARA + K merupakan hubungan menguasai.
2.      Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15 UUPAPasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA + K untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan keagamaan.Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara di atas dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang menggunakan tanah baik Pemerintah, masyarakat maupun perseorangan untuk memelihara tanahnya.Undang-undang yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang pembuatan rencana umum penggunaan tanah sebagaimana dikehendaki pasal 14 UUPA ialah peraturan pemerintah
3.      No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.4.UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.5.UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang Penggunaan dan Penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu.Mengenai penertiban/pemanfaatan:6.UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.7.Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 19828.Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No. 3 Tahun 1972 jo No. 6 Tahun 1986.9.PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan penataan ruang, penatagunaan tanahpun harus mengacu pada kebijaksanaan dasar mengenai pertanahan yang terkandung dalam UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan tanah. Dasar-dasar penatagunaan tanah itu adalah:
a.       Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah serta pemeliharaan tanah ada pada Negara;
b.      Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu;
c.       Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah tersebut dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;
d.      Perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan tanah;
e.       Penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;
f.       Penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang juga merupakan subsistem dari system pembangunan;
g.      Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik, hankam) dan multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan secara koordinatif;
h.      penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua kegiatan pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan tanah bersifat dinamis dan sibernetik;
i.        Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat yang pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.
Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna tanah adalah terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan pedesaan sehingga akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik serta serasi dari aspek lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata penggunaan tanah di perkotaan dan pedesaan ialah Konsolidasi Tanah
 

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
  Tata Guna Tanah "Tanah" dipakai dalam berbagai arti, maka dalam pengunaannya perlu mengetahui batasan dari pada tanah, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. "Tanah", dalam arti yuridis, menurut undang-undang pokok agraria (UUPA) pasal 4 disebutkan, bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanaya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang . Dengan demikian jelaslah, bahwa "tanah" dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (ayat 1). Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah yang diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan
Tujuan penatagunaan tanah
Tujuan penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 adalah :
ü  Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah.
ü  Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan kegiatan dibidang pertanahan  dikawasan lindung dan kawasan budidaya. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

B.     Saran
          Penulis banyak berharap para pembaca sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.




DAFTAR PUSTAKA

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional.
Elita Rahmi. Land Reform Hingga Reforma Agraria. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jambi vol.96 Edisi Januari 2009
Suardi. 2005. Hukum Agraria. Badan Penerbit Iblam : Jakarta.
Ismaya Samun, 2011. Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta: Graha Ilmu, Eric R. Claeys,
Boedi Harsono,




ilmu politik konsep gender dalam pemerintahan





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
  Dilihat dari latar belakang historisnya, konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham sebenarnya lahir dari  pemberontakan kaum perempuan di negara-negara barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, Abad Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada “abad pencerahan” sekali pun,  barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa.  Indonesia pun memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Sejak era Kartini, kaum perempuan di Indonesia mulai menyadari arti pentingnya kesetaraan gender dalam memperoleh hak-hak publik seperti yang diperoleh kaum lelaki. Pada dasarnya, jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk yakni dalam pasal 27 ayat 1.  Namun pada kenyataannya, masih banyak program-program pembangunan yang biayanya dari anggaran keuangan pemerintah Indonesia sendiri atau dari dana bantuan maupun pinjaman luar negeri, yang hasil maupun dampak positifnya lebih memihak laki-laki, ketimbang perempuan. Selain itu, alokasi dana dan sumber-sumber untuk sektor-sektor yang akrab dengan perempuan dan menyentuh pada kehidupan privat di pelosok-pelosok Indonesia sangatlah minim. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk pembangunan politik yang berwawasan gender. Bahkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia memperlihatkan representasi yang rendah dalam semua tingkat pengambilan keputusan, baik di tingkat eksekutif, yudikatif, maupun birokrasi, partai politik, bahkan kehidupan politik lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana permasalahan kesetaraan gender di Indonesia?
2.      Bagaimana arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
3.      Bagaimana upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Permasalahan Kesetaraan Gender di Indonesia
    Permasalahan Gender lebih ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Dalam realitas kehidupan telah terjadi perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan yang melahirkan perbedaan status sosia l di masyarakat, dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan melalui konstruksi sosial. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos. Perbedaan jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat untuk membentuk pembagian peran (kerja) laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilah pembagian peran gender yaitu peran domestik dan peran publik. Peran domestik cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan, dan pengaruh. Peran ini lebih banyak diserahkan kepada kaum perempuan, sedangkan peran publik yang menghasilkan uang, kekuasaan dan pengaruh diserahkan kepada kaum laki-laki. Akibat pembagian kerja yang tidak seimbang melahirkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan yang berakibat ketidakadilan gender yang merugikan perempuan. Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek antara lain dalam lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan dalam pemerintahan. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan kultural masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan suku. Setiap masyarakat suku di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri dalam memaknai peran gender di Indonesia. Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih  terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi dengan adanya keterwakilan perempuan-perempuan dalam lembaga-lembaga negara, terutama lembaga pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan di bidang pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena perkembangan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gender itu sendiri masih sangat lambat. Meskipun perempuan ditempatkan pada peran domestik di lingkungan keluarga, namun posisi perempuan Indonesia di lingkungan keluarga selalu dinomor-duakan. Karena berperan sebagai pencari nafkah, posisi kepala rumah tangga pada umumnya akan diserahkan kepada laki-laki/suami, kecuali jika perempuan tersebut adalah seorang janda atau tidak ada laki-laki dalam suatu keluarga. Selama ini, pemahaman masyarakat Indonesia merekonstruksi bahwa secara kodrat, perempuan lemah dan laki-laki kuat, sehingga untuk menjadi pemimpin dalam sebuah keluarga tetap diserahkan kepada laki-laki. Hal ini menunjukkan dominasi laki-laki pada peran domestik. Keadaan tersebut menyebabkan posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas, seperti memasak, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Pekerjaan domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi. Penempatan perempuan pada tugas domestik sepenuhnya mengakibatkan potensi perempuan untuk melakukan hal produktif menjadi berkurang. Memang, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah secara resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27. Namun demikian, dalam perkembangannya, beberapa UU yang selama ini berlaku di Indonesia, disadari mempunyai arti yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Seperti dalam UU mengenai sistem pengupahan tenaga kerja perempuan, tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan-perempuan dianggap lajang sehingga suami dan anak-anak tidak mendapatkan tunjangan sebagaimana yang diterima pekerja laki-laki. Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 Tahun 1990 tentang Upah, PP No. 37 Tahun 1967 tentang Sistem Pengupahan di lingkungan perusahaan negara, Peraturan Menteri Pertambangan No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984 dan No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988 tentang tunjangan kesehatan, serta pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8 UU No. 10/1994 tentang prosedur memperoleh NPWP. Selain itu, berdasarkan data Komnas perempuan tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi dan menerima manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.


B.     Kesetaraan Gender di Dunia Perpolitikan Indonesia
  Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan perkembangan akses perpolitikan bagi perempuan. Melalui akses perpolitikan, maka kesadaran untuk membincang relasi gender di dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin mengedepan. Kesetaraan gender sebagaimana yang diketahui adalah produk impor dari negeri barat tentang adanya tuntutan  untuk keseimbangan peran di dalam relasi gender tersebut. Pembicaraan gender di Indonesia banyak dilakukan di tahun 1980-an. Melalui program dari Non Governmental Organization (NGO) lokal yang bekerja sama dengan NGO internasional, maka banyak penyadaran tentang relasi gender yang dilakukan di Indonesia. Banyak perbincangan dan pelatihan dengan tujuan untuk menyadarkan tentang relasi gender. Jadi, yang dilakukan adalah melakukan pelatihan tentang urgensi gender mainstreaming  pada masyarakat negara sedang berkembang. Di dunia internasional, banyak NGO yang bergerak di dunia ketiga, misalnya NGO dari Belanda, Jerman, Inggris, dan juga Australia. Banyak program yang diusung, misalnya tentang kesetaraan pendidikan, sosial, dan politik yang  disinergikan dengan NGO lokal  Indonesia yang juga bergerak di bidang ini. Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Di dunia politik, memang dominasi lelaki masih nampak. Misalnya jika kita secara kuantitatif berhitung, berapa banyak perempuan yang memasuki kawasan pimpinan di perpolitikan Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan ini yang memang masih menjadi ganjalan di dalam kerangka untuk kesetaraan gender. Namun demikian, di akhir-akhir ini, akses perempuan di dalam politik memang sudah mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan di dalam politik praktis. Sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislatif, birokrasi, dan juga jabatan-jabatan politik lain. Ada beberapa bupati perempuan yang terdapat di Indonesia, demikian pula gubernur. Bahkan ada bupati perempuan yang bisa menjabat dua kali periode, demikian pula gubernur. Tidak terhitung yang berlama-lama di parpol dan kemudian berlanjut di lembaga legislatif. Semakin terbuka akses keterbukaan politik, maka tentu akan semakin banyak perempuan yang akan bisa berkompetisi dengan kaum lelaki di dalam pentas publik. Oleh karena itulah pemberian kuota kepada perempuan di dalam representasi politik tentulah tidak penting. Meskipun begitu, saat ini hak-hak politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak tersebut tidak menjamin adanya sistem politik yang demokratis di mana asas partisipasi, representasi, dan akuntabilitas diberi makna sesungguhnya. Adanya keterwakilan perempuan di dalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki sensitivitas gender tidak serta merta terwujud meskipun hak politik perempuan sudah diakui. Perempuan sebagai warga negara seharusnya dapat berpartisipasi secara mandiri dalam proses demokrasi ini. Selama ini di Indonesia, kita mendapati bahwa sebagian besar perempuan bahkan belum dapat membuat pilihan politiknya secara mandiri. Pilihan politik perempuan banyak dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh suami, atasan, teman, atau keluarga. Bukti-bukti empiris sudah menunjukkan bahwa kesetaraan gender sudah bukan masalah di negeri ini. Hanya saja yang memang perlu diperjuangkan adalah bagaimana agar perempuan semakin berdaya di dalam pengembangan SDM terutama melalui pendidikan, sehingga ke depan peluang untuk memasuki dunia politik akan semakin nyata. 

C.    Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
  Pendidikan politik adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi Warga Negara  Indonesia yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik. Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.  Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, mengatakan bahwa efektivitas UU parpol dan UU pemilu terkait keterwakilan perempuan bisa dilihat dari hasil pemilu 2009 dimana keterwakilan perempuan sudah meningkat dibandingkan pemilu 2004. Jumlah ini masih jauh ketimbang dari hasil keseimbangan ideal minimal 30%. Oleh karenanya, harus dilakukan pengawalan sejak tataran perumusan kebijakan, proses dan implementasinya, serta evaluasi dampaknya guna perbaikan kedepan pada pemilu 2014, sampai kesetaraan dan keadilan partisipasi perempuan dalam politik yang terjadi, tidak dibutuhkan lagi. Sementara itu, perempuan yang dilibatkan di dunia politik seharusnya dapat mengetahui manfaat yang baik untuk dirinya maupun di partai politik, namun pada faktanya, perempuan kini cenderung mudah dipengaruhi untuk menerima money politics. Hal tersebut diakibatkan kurangnya pendidikan dasar dalam berpolitik yang belum dapat dipahami secara penuh ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua persoalan tersebut adalah budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak perempuan di semua bidang, termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat dengan politik. Konsep demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan oleh rakyat. Di dalamnya terkandung makna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian partisipasi “ dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat” hanya diartikan secara terbatas hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya. Keterwakilan perempuan adalah untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan sendiri karena mereka sesungguhnya paling mengerti kebutuhan perempuan. Dalam kerangka demokrasi yang representative, pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat. Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan gender.
D.    Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
   Pada dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh dengan kenyataannya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam langkah politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan. Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para perempuan dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini, publik akan memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak merealisasikan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil dan penentu kebijakan masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan. Dengan adanya dorongan untuk keterwakilan perempuan yang 30% di parlemen saat pemilu 2009 tersebut, seperti diamanatkan UU No. 10 tahun 2008, walaupun belum ada affirmative action yang memberikan previlage tertentu, sehingga memberikan syarat yang lebih mudah bagi caleg perempuan dari pada caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut sudah menunjukkan keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari sebelumnya yang hanya 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari pada keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%. Berdasarkan data tersebut di  atas, kurang adanya pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan dalam proses politik, telah terbuktikan dengan kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam perencanaan pembangunan, meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu gender mainstreaming tentang perempuan sebagai bagian dan sasaran dalam pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan pendekatan “Women In Development Approach (WID)”. Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen pembangunan baik secara teoritis maupun aplikatif. Sehingga hasil–hasil pembangunan masih berpihak pada kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias gender. Adapun upaya–upaya untuk mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”.  Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan dan laki–laki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang laki–laki dan perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses kehidupan terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik. Partisipasi antara laki–laki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan, sampai diamanatkan dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang ditetapkan pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui Undang–Undang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984 melalui lembar negara no. 29 tahun 1984. Meskipun demikian, sampai saat ini perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal karena adanya diskriminasi secara struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam kehidupan masyarakat. Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya perempuan terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk merubah dan melakukan pembenahan-pembenahan sejak dini. Untuk itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yakni pertama, harus diusahakan adanya peraturan atau UU tentang pemilu, pilkada, dan partai politik yang mencantumkan perihal affirmative action terhadap keterwakilan perempuan dengan memberikan previlage tertentu kepada keterwakilan perempuan, sehingga dengan adanya affirmative action, diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai harapan. Kedua, diperlukan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi perempuan secara terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf pendidikan bagi kaum perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi dan daya saing kaum perempuan di bidang politik. Ketiga, diperlukan adanya pencerahan dan pendidikan politik yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembaga–lembaga lain, tentang unggulnya pemimpin politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriarki bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpim politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpim politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
    Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih berusaha terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri. Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam proses demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya peminpin politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.

B.     Saran
    Dalam upaya kesetaraan gender di Indonesia, khususnya dalam dunia politik, perlu adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua pihak yang menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi perempuan.

Daftar Pustaka

Dewi, Sinta R. 2006. “Gender Mainstreaming : Feminisme, Gender dan Transformasi Institusi, ”Jurnal Perempuan” No. 50, November,
Fakih, Mansour, 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, PustakaPelajar
Offset,
Haspels, Nelien dan Busakorn Suriyasarn, Meningkatkan Kesetaraan Gender dalam Aksi
Penanggulangan Pekerja Anak serta Perdagangan Perempuan dan Anak, Jakarta, Kantor
Perburuhan Internasional,
Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, 2009. Kebijakan Publik Pro Gender, Surakarta, UPT Penerbitan
dan Percetakan UNS (UNS Press),
Pulu, Lily, 2006. dkk, Modul Pendidikan Adil Gender Untuk Perempuan Marginal, Jakarta :
Kapal Perempuan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, 2005. Modul Penyadaran Gender
Bagi Pendidik, Semarang,
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, ,2005. BKKBN dan UNFPA, Panduan dan Bunga
Rampai Pengarusutamaan Gender, Jakarta